Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah adalah Pondok pesantren yang terletak di di
Kampung Cilongok, Desa Sukamantri RT 02 RW 02, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten
Tangerang.
Pesantren
ini dididirikan oleh KH. Dimyati sejak tahun 1955, pada awalnya, pesantren ini
dikenal dengan nama Pesantren Cilongok, merujuk pada lokasi pesantren. Kemudian
pada tahun 1970 pesantren diberi nama Al-Istiqlaliyyah, yang berarti
kemandirian. Yang bermakna bahwa baik santri atau pun pesantren itu sendiri
bisa berdiri sendiri. Adapaun visi misi dari pesantren ini adalah menjaga
keutuhan ajaran yang dibawa Rasulullah, serta mendidik masyarakat supaya
memahami nilai-nilai agama. Setelah wafatnya KH. Dimiyati pada 2001,
kepemimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh sang putra, yakni KH. Uci Turtusi.
KH. Uci Turtusi adalah putra ketiga dari KH. Dimiyati. Semenjak kecil, KH. Uci
dididik langsung oleh sang ayah, kemudian pendidikan selanjutnya
dilakukandiberbagai pesantren.
Pondok
Pesantren Al-Istiqlaliyyah di bawah kepemimpinannya mengalami peningkatan baik
dari segi fisik pesantren maupun jumlah santri. Peningkatan ini juga termasuk
dengan jumlah jemaah pengajian masyarakat. Peningkatan ini juga berkat bantuan
darimasyarakat sekitar tanpa ada bantuan dari pemerintah, karena KH Uci
Turtusyi enggan menerima bantuan dari instansi manapun karena tak ingin terikat
oleh kepentingan pribadi maupun kepentingan politik.
Pesantren
Al-Istiqlaliyyah berdiri di tanah seluas kurang lebih 5 hektar, terdiri dari 11
buah kobong (tempat tinggal untuk santri) yang terbagi dalam 17 Darul, tiga
buah masjid, satu dapur umum, kantin, toko kitab dan majlis pengajian di setiap
depan rumah keluarga pesantren. Pesantren Al-Istiqlaliyyah ini memang dibangun
di sekitar lingkungan keluarga dari KH.Romli. Jadi selain bangunan untuk
menunjang kegiatan santri, adapula kediaman atau tempat tinggal dari keluarga
pendiri pesantren.
Santri
pesantren ini mencapai sekitar 600 santri yang terdiri dari santri tetap dan
santri tidak tetap, yang berasal dari berbagai daerah seperti Tangerang, Jakarta,
Serang, Lebak, Pandeglang, Karawang, Bogor dan lain lain.[1]
Sistem
pengajaran di pesantren ini menganut sistem tradisional, yang berarti pesantren
ini khusus pada kajian kitab Islam klasik tanpa ada kurikulum pelajaran umum.
Sebagaimana pesantren tradisional pada umumnya, metode pengajaran di pesantren
ini lebih banyak dengan metode wetonan atau bandongan.[2]
Salah
satu kontribusinya terhadap tradisi keilmuan pada masyarakat sekitar adalah
dengan adanya pengajian mingguan yang dilaksanakan setiap Minggu pagi.
Masyarakat sekitar pun merespon hal ini dengan sangat positif terbukti dengan
peningkatan jumlah peminat pengajian ini yang ribuan orang. Selain dengan
kegiatan rutin mingguan, berbagai kegiatan keagamaan yang diisi dengan kajian
keislaman pun dilaksanakan pada setiap peringatan hari besar Islam seperti
maulid Nabi, isra Miraj dan sebagainya. Puncak dari antusiasme syarat terhadap
kegiatan pondok pesantren ini adalah ada acara haul syekh abdul Qodir
al-Jaelani, jumlah masyarakat yang hadir bisa mencapai 5000 orang.[3]
Pengaruh
Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah dari uraian diatas terlihat cukup besar,
berbagai kegiatan pengajian serta peringatan hari besar selalu disambut baik
oleh masyarakat sekitar dan seolah maenjadi tradisi tak terpisahkan dari pesantren
tersebut. Hubungan erat antara pesantren dan desa pun menarik untuk dikaji
mengingat bagaimana berbagai kegiatan Pesantren pasti berdampak pada berbagai
pola pada masyarakat di desa tersebut.
[1] Rohima,
“Strategi Komunikasi Persuasif Pesantren Al-Istiqlaliyyah dalam
Mempertahankan Ngahol Syekh Abdul Qadir Al-Jailani”, (Skripsi, Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016), h. 36
[2] Metode
wetonan atau bandongan adalah metode
pembelajaran dimana kyai atau ustad membaca kitab dan menerjemahkannya untuk
selanjutnya memberikan penjelasan, pada saat yang sama santri mendengarkan dan
ikut membaca kitab tersebut sambil membuat catatan-catatan kecil di atas kitab
yang dibacanya. catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya
tersebut membantu untuk melakukan telaah
atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah bandongan selesai .
(Syamsul A’dhom Sistem Pendidikan
Pesantren Tradisional Dalam Era Modern, Jurnal Pusaka 2015) 44
[3]Ati
Atiyaturohmah , modal sosial di pesantren Al-Istiqlaliyyah cilongok pasar kemis
tangerang.hal 4
0 komentar: