Home

Dunia Pesantren

Profil Pesantren

Tokoh Pesantren

Pelajaran

Tentang Kami

Muhadatsah, sebuah kegiatan untuk beajar bahasa asing di pesantren

Muhadatsah merupakan salah satu metode dalam mengajar dalam mempelajari bahasaa Arab yang seharusnya pertama-tama diberikan kepada siswa, karena menjadi bagian dari metode dalam mempelajari bahasa Arab yang tujuannya agar siswa mampu berdialog dengan baik menggunakan bahasa Arab, dapat memahami teks yang berbahasa Arab.


 

Muhadatsah adalah cara menyajikan pelajaran bahasa Arab melalui percakapan, dan percakapan itu dapat terjadi antara pendidik (guru) dan peserta didik (murid) atau antara murid dengan murid sambil memperkaya perbendaharaan kata-kata vocabulary yang semakin banyak.

Tujuan muhadatsah adalah untuk berkomunikasi agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, sehingga seorang pembicara dapat memahami sesuatu yang akan dikomunikasikan, dia harus bisa mengevaluasi efek komunikasi terhadap pendengaran dan pengetahuan prinsip yang mendasar terhadap situasi pembicaraan baik secara umum maupun perorangan.

Muhadatsah dalam belajar bahasa Arab termasuk kategori belajar bahasa Arab secara aktif, yaitu suatu keadaan dimana seseorang yang sedang belajar bahasa Arab melakukan aktivitas berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Belajar secara aktif sangat diperlukan oleh peserta didik agar mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Ciri belajar aktif adalah ketika peserta didik melakukan sebagian besar pekerjaan yang harus dilakukan, mereka menggunakan otak mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari sehingga mendukung mengembangkan keberanian berbicara bahasa Arab dengan lancar.


 

Proses pelaksanaan pembelajaran muhadatsah beralokasi waktu 20 menit yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu pembukaan, kegiatan inti, evaluasi, dan penutup. Yang pertama, pada tahap pembukaan berisi salam pembuka oleh dewan asatid, menanyakan kabar, berdoa, dan mengabsen. Kemudian pada kegiatan inti berisi mudzakaroh penambahan kosakata baru, dan setiap santri diminta untuk membuat kalimat serta berlatih berbicara dengan kosakata baru..

Yang selanjutnya pada tahap evaluasi, yaitu dewan asatid memeberikan tanggapan terhadap kalimat-kalimat yang telah dibuat santri. Kemudian yang terakhir penutup, yang berisi doa dan salam penutup.

wallahu alam bis showab

source:

- Skripsi oleh Syawal Hidayatullah, berjudul: Peningkatan Mutu Kegiatan Muhadatsah di Pondok Pesantren Pendidikan Islam Miftahussalam Banyumas

- Ummul Quro Medianet

https://www.youtube.com/watch?v=h12OE--1T-o 

- Bang Zaky Penuh Hikmah

https://www.youtube.com/watch?v=MtHq9l8cQ-E

Apa itu Muthola'ah?

 

Mutholaah secara bahasa artinya membaca atau mentelaah. Sementara secara istilah harus kita pahami konteksnya karena bisa multitafsir nantinya.

Istilah Mutholaah, dalam strategi atau metode pembelajaran, adalah salah satu metode belajar yang dikenal di pesantren,  yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi ajar dengan cara mengulang-ngulang materi tersebut dengan harapan siswa bisa mengingat lebih lama materi yang disampaikan.

nah sementara ada juga mutholaah yang merupakan mata pelajaran, mata pelajaran ini merupakan salah satu bagian dari metodologi pembelajaran Mahmud Yunus. pesantren pertama di Jawa yang menerapkan metodologi pembelajaran Bahasa Arab Mahmud Yunus adalah Pesantren Darussalam Gontor, itulah kenapa biasanya pesantren dari alumni Darussalam Gontor juga ikut menerapkan metodologi pembelajaran ini, termasuk mata pelajaran Mutholaah di dalamnya.

Disebut Mutholaah sendiri karena merujuk pada kitab atau buku ajarnya yang berjudul Al-Mutholaah Al-Haditsah, yang terdiri dari 3 Juz/bagian yang biasanya menjadi buku ajar untuk kelas setingkat 1 SMP/MTs di Pesantren. Buku Al-Mutholaah Al-Haditsah sendiri berisi kosakata, frasa, dan bacaan ringan dalam bahasa arab. mulai dari yang mudah hingga semakin lama tingkat kesulitannya semakin tinggi. sebagaimana contoh jika di bagian awal awal mempelajari nama nama jari dalam bahasa arab, di bagian bagian pertengahan sudah mulai membahas bermacam macam benda serta kegunaannya dalam bahasa arab.

Metode belajarnya adalah dengan membaca dan mengartikan serta memahami bacaan, setelah itu santri juga diminta menghafal bacaan tersebut. dari kegiatan tersebut diharapkan santri bisa mengetahui kosakata serta berbagai penggunaan bahasa arab dan berbagai pengetahuan serta hikmah dari bacaan tersebut.

Seiring meningkatnya kelas, bacaannya pun semakin panjang, bahkan biasanya buku atau kitab yang dipakai sudah bukan Al-Mutholaah Al-Haditsah, melainkan Al-Qiroah Ar-Rasyidah. kitab ini berisi cerita cerita pendek bahasa arab yang ringan penuh makna dalam juga memiliki tata bahasa yang bisa yang bisa digunakan oleh santri. sama seperti sebelumnya, metode belajarnya adalah dengan membaca, mengartikan serta memahami bacaan tersebut, setelah itu santri diharapkan bisa menghafal cerita tersebut atau paling tidak bisa menceritakan ulang cerita tersebut dalam bahasa arab dengan bahasana sendiri

PONDOK PESANTREN LIRBOYO

 Lirboyo, adalah nama sebuah desa yang digunakan oleh KH Abdul Karim menjadi nama Pondok Pesantren. Terletak di barat Sungai Brantas, di lembah gunung Willis, Kota Kediri. Awal mula berdiri Pondok Pesantren Lirboyo berkaitan erat dengan kepindahan dan menetapnya KH Abdul Karim ke desa Lirboyo tahun 1910 M.



 

Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo.  Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.



 

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan  alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim)  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang 

Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana

 

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

 

Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

 

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap  sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.

 

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M.  Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

 

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

 

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.


Pondok Pesantren Lirboyo berkembang menjadi pusat studi Islam sejak puluhan tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan dalam peristiwa-peristiwa kemerdekaan, Pondok Pesantren Lirboyo ikut berperan dalam pergerakan perjuangan dengan mengirimkan santri-santrinya ke medan perang seperti peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Sebagai Pusat pendidikan Islam, Pondok Pesantren Lirboyo mencetak generasi bangsa yang cerdas ruhaniyah, juga smart-intelektual, mumpuni dalam keberagaman bidang, juga keberagamaan Islam yang otentik. Pondok Pesantren Lirboyo memadukan antara tradisi yang mampu mengisi kemodernitasan dan terbukti telah melahirkan banyak tokoh-tokoh yang saleh keagamaan, sekaligus saleh sosial.

B.Sistem Pendidikan

Secara umum ada tiga pokok ciri pendidikan dalam pesantren manapun, termasuk yang berlaku di Pondok Pesantren Lirboyo. Ketiganya adalah:

  • Ta’lim – pemberian bekal serta pengajaran dan pengarahan pengetahuan ilmu-ilmu syariat (an sich), baik berupa ilmu alat (bahasa) guna membaca teks/nash dan juga pengajaran ilmu fikih, tafsir wa ulumuh, hadits wa ulumuh, dll.
  • Tarbiyah – berupa pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental.
  • Ta’dib – pembinaan intuisi, berupa moral dan estetika guna meningkatkan martabat kemanusiaan. Pesantren mendidik santri menjadi manusia yang saleh keagamaan juga saleh sosial.

Kalender pendidikan Pondok Pesantren Lirboyo sendiri di setiap tahunnya berlangsung penuh sepanjang tahun, dengan tahun ajaran pendidikan menggunakan penanggalan Hijriah. Terbagi menjadi 2 pembekalan materi

  • Wajib Belajar (Madrasah)
  • Pengajian Kitab.

Teknis pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo menerapkan 2 sistem pendidikan yang berjalan berdampingan dan padu;

  • Classical (madrasah/ sekolah) diterapkan sebagai pembelajaran wajib yang disesuai dengan kemampuan masing-masing santri dalam menyerap dan memahami keilmuan yang diberikan. Bersifat wajib bagi santri-santri dengan mata pelajaran yang telah dibakukan sebagai tingkatan-tingakatan pembelajaran. Di mulai pada pertengahan bulan Syawal sampai pada akhir bulan Rajab di setiap tahunnya. Dengan masa libur 2 kali dalam 1 tahun yakni 10 hari pada bulan Maulid dan 30 hari di bulan Ramadlan.
  • Tradisional (Pengajian Kitab) berupa pengajian bandongan, sorogan, diskusi/ musyawarah pendalaman masalah teks keagamaan dan bahtsul masail dengan kupas problema keagamanan terkini.

Pengajian Kitab sangat dianjurkan sebagai bekal tambahan keilmuan santri. Berlangsung sepanjang tahun di setiap tahunnya dan pada bulan Ramadlan Pesantren Lirboyo selalu mengadakan Pengajian Kilatan.

Madrasah

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri pada tahun 1925 M. Berkembang menjadi Pusat Pendidikan Islam yang lebih khusus dalam memberi pembekalan materi keagamaan Islam

Pengajian Kitab

Secara umum pengajian kitab di pesantren manapun menerapkan dua sistem;

A. Sorogan adalah metode pembelajaran siswa/ santri aktif di hadapan seorang guru, dengan cara peserta didik/ santri membacakan materi ajar untuk mendapatkan koreksi dan tashih.

Istilah sorogan digunakan untuk sorogan Alquran dan sorogan kitab kuning.

Di hadapan seorang guru (biasa disebut Penyorog), seorang peserta didik (santri) membaca kitab kuning beserta maknanya –biasanya menggunakan bahasa Jawa– dengan metode pemaknaan ala “utawi iki iku”. Sedangkan Penyorog menyimak bacaan, mengingatkan kesalahan dan sesekali meluruskan cara bacaan yang benar.

Dengan metode pemaknaan “utawi iki iku” semacam ini, terangkum empat sisi pelatihan

  1. Kebenaran harakat, baik harakat mufradat (satu per satu kata) dan harakat terkait i’rab
  2. Kebenaran tarkib (posisi kata dalam kalimat, mirip dengan S-P-O-K {Subyek – Predikat – Obyek – Keterangan} dalam struktur bahasa Indonesia)
  3. Kebenaran makna mufradat (kosakata)
  4. Kebenaran pemahaman dalam masing-masing disiplin ilmu.

B. Bandongan adalah metode pembelajaran guru aktif dengan cara guru membacakan materi ajar untuk kemudian disimak dan dicatat oleh peserta didik/ santri.

Biasanya, dalam sistem bandongan, santri juga membawa kitab kuning untuk kemudian ditulis makna per kata sebagaimana dibacakan oleh guru/ kiai.

Dalam pengajian Alquran, sistem bandongan ini sama halnya dengan semaan Alquran.

KH. SYAM'UN

    KH. Syam’un adalah tokoh ulama, tentara dan juga tokoh masyarakat yang berasal dari Cilegon, Banten. Dia merupakah perintis dan pendiri perguruan Islam Al-Khairiyah. Pada awalnya perguruan itu berbentuk pesantren, didirikan pada tahun 1916 oleh KH. Syam’un bin Alwiyah di Citangkil, Desa Warnasari, Kecamatan Grogol, Kabupaten Serang Karesidenan Banten.



    KH. Syam’un juga merupakan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 8 Januari 1946 dalam usahanya memadamkan aksi Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce Mamat, yang pada masa itu banyak meresahkan rakyat. Tidak hanya itu, KH. Syam’un ikut bergerilya selama dua bulan bergabung dengan Markas Gerilya Sektor I wilayah Gunung Sari yaitu tanggal 23 Desember 1948 sampai 28 Pebruari 1949, ketika tentara NICA masuk ke wilayah Banten. Disana beliau memimpin perang gerilya bersama dengan Ali Amangku.  Hal ini semakin mengindikasikan bahwa selain kedudukan KH. Syam’un sebagai seorang pimpinan Brigade Tirtayasa, kedudukannya sebagai kiai juga memiliki peran yang signifikan dalam menangani permasalahan dan konflik di masyarakat. 
    Salah satu hal yang juga dikenang dari KH. Syam’un adalah ketika beliau berhasil memadamkan kerusuhan di Tangerang yang diakibatkan massa yang geram terhadap etnis tionghoa. Hal tersebut dipicu oleh Barisan Po An Tui yang masuk Tangerang bersama dengan pasukan Inggris dan NICA. Masyarakat mendapat perlakuan buruk dari kelompok ini, Matia Madjiah menjelaskan dalam bukunya " Dokter Gerilya" bahwa motif perlakuan Po An Tui adalah untuk membalas dendam terhadap kekejaman yang pernah dialaminya pada permulaan revolusi dari golongan kiri. Kekejaman Po An Tui itu telah membangkitkan lagi kebencian rakyat terhadap orang-orang Tionghoa dan kebencian itu hari makin bertambah karena setiap hari pula orang-orang Po An Tui melakukan kekejaman terhadap penduduk. Akhirnya kebencian itu meledak dan membuat rakyat yang sudah merasa ditindas tuh melampiaskan emosinya untuk belas dendam. sayangnya yang menjadi sasaran pembalasan itu justru orang-orang Tionghoa yang tidak bersalah, yang justru harus dilindungi keselamatan jiwa dan harta bendanya. 


PONDOK PESANTREN AL-ISTIQLALIYYAH

 

Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah adalah Pondok pesantren yang terletak di di Kampung Cilongok, Desa Sukamantri RT 02 RW 02, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang.



Pesantren ini dididirikan oleh KH. Dimyati sejak tahun 1955, pada awalnya, pesantren ini dikenal dengan nama Pesantren Cilongok, merujuk pada lokasi pesantren. Kemudian pada tahun 1970 pesantren diberi nama Al-Istiqlaliyyah, yang berarti kemandirian. Yang bermakna bahwa baik santri atau pun pesantren itu sendiri bisa berdiri sendiri. Adapaun visi misi dari pesantren ini adalah menjaga keutuhan ajaran yang dibawa Rasulullah, serta mendidik masyarakat supaya memahami nilai-nilai agama. Setelah wafatnya KH. Dimiyati pada 2001, kepemimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh sang putra, yakni KH. Uci Turtusi. KH. Uci Turtusi adalah putra ketiga dari KH. Dimiyati. Semenjak kecil, KH. Uci dididik langsung oleh sang ayah, kemudian pendidikan selanjutnya dilakukandiberbagai pesantren.



Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah di bawah kepemimpinannya mengalami peningkatan baik dari segi fisik pesantren maupun jumlah santri. Peningkatan ini juga termasuk dengan jumlah jemaah pengajian masyarakat. Peningkatan ini juga berkat bantuan darimasyarakat sekitar tanpa ada bantuan dari pemerintah, karena KH Uci Turtusyi enggan menerima bantuan dari instansi manapun karena tak ingin terikat oleh kepentingan pribadi maupun kepentingan politik.

Pesantren Al-Istiqlaliyyah berdiri di tanah seluas kurang lebih 5 hektar, terdiri dari 11 buah kobong (tempat tinggal untuk santri) yang terbagi dalam 17 Darul, tiga buah masjid, satu dapur umum, kantin, toko kitab dan majlis pengajian di setiap depan rumah keluarga pesantren. Pesantren Al-Istiqlaliyyah ini memang dibangun di sekitar lingkungan keluarga dari KH.Romli. Jadi selain bangunan untuk menunjang kegiatan santri, adapula kediaman atau tempat tinggal dari keluarga pendiri pesantren.

Santri pesantren ini mencapai sekitar 600 santri yang terdiri dari santri tetap dan santri tidak tetap, yang berasal dari berbagai daerah seperti Tangerang, Jakarta, Serang, Lebak, Pandeglang, Karawang, Bogor dan lain lain.[1]

Sistem pengajaran di pesantren ini menganut sistem tradisional, yang berarti pesantren ini khusus pada kajian kitab Islam klasik tanpa ada kurikulum pelajaran umum. Sebagaimana pesantren tradisional pada umumnya, metode pengajaran di pesantren ini lebih banyak dengan metode wetonan atau bandongan.[2]

Salah satu kontribusinya terhadap tradisi keilmuan pada masyarakat sekitar adalah dengan adanya pengajian mingguan yang dilaksanakan setiap Minggu pagi. Masyarakat sekitar pun merespon hal ini dengan sangat positif terbukti dengan peningkatan jumlah peminat pengajian ini yang ribuan orang. Selain dengan kegiatan rutin mingguan, berbagai kegiatan keagamaan yang diisi dengan kajian keislaman pun dilaksanakan pada setiap peringatan hari besar Islam seperti maulid Nabi, isra Miraj dan sebagainya. Puncak dari antusiasme syarat terhadap kegiatan pondok pesantren ini adalah ada acara haul syekh abdul Qodir al-Jaelani, jumlah masyarakat yang hadir bisa mencapai 5000 orang.[3]

Pengaruh Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah dari uraian diatas terlihat cukup besar, berbagai kegiatan pengajian serta peringatan hari besar selalu disambut baik oleh masyarakat sekitar dan seolah maenjadi tradisi tak terpisahkan dari pesantren tersebut. Hubungan erat antara pesantren dan desa pun menarik untuk dikaji mengingat bagaimana berbagai kegiatan Pesantren pasti berdampak pada berbagai pola pada masyarakat di desa tersebut. 



[1] Rohima, “Strategi Komunikasi Persuasif Pesantren Al-Istiqlaliyyah dalam Mempertahankan Ngahol Syekh Abdul Qadir Al-Jailani”, (Skripsi, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016), h. 36

[2] Metode wetonan atau bandongan adalah metode pembelajaran dimana kyai atau ustad membaca kitab dan menerjemahkannya untuk selanjutnya memberikan penjelasan, pada saat yang sama santri mendengarkan dan ikut membaca kitab tersebut sambil membuat catatan-catatan kecil di atas kitab yang dibacanya. catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya tersebut  membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah bandongan selesai . (Syamsul A’dhom  Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional Dalam  Era Modern, Jurnal Pusaka 2015) 44

[3]Ati Atiyaturohmah , modal sosial di pesantren Al-Istiqlaliyyah cilongok pasar kemis tangerang.hal 4

 

Pesantren Salaf



Pesantren salafiyah atau disingkat menjadi salaf atau salafi merupakan lembaga pesantren yang masih mempertahankan pola-pola pendidikan pesantren tradisional yang tercermin pada kurikulum yang mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) saja, model pembelajaran yang terpusat pada kiai, dan juga hal-hal lain yang masih mempertahankan tradisi pesantren jaman dulu. Dengan kondisi pendidikan yang sederhana dan tradisional tersebut, ia hidup di tengah tengah masyarakat yang bertambah maju dengan pilihan layanan pendidikan yang beragam dan modern.
Tidak hanya itu saja, secara sistemik, media barat membuat berita negatif bahwa pesantren ini dianggap sebagai lembaga pengkaderan Islam militan dan radikal. Dengan beragam tantangan tersebut di atas, pesantren salafi tetap eksis dengan budayanya yang spesifik. Hipotesisnya, ketahanan pesantren salafi berakar pada budayanya yang kuat dan mengakar hingga ke masyarakat.
Salafiyyah atau salaf mengandung arti “yang dulu atau yang sudah lewat”, ini menunjuk pada metode dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni, yakni periode sahabat Nabi Muhammad SAW dan Tabi`in senior. Anehnya istilah salaf juga digunakan kalangan pesantren yang berkonotasi “pesantren tradisional”. Pesantren salafi dipandang sebagai indigenous education di Indonesia. Pesantren ini didirikan oleh para wali untuk mengajarkan ajaran Islam kepada para pengikutnya yang datang dari berbagai daerah yang selanjutnya setelah mereka selesai menuntut ilmu agama Islam, mereka kembali ke tempat asalnya untuk mengajarkan kembali apa yang telah mereka pelajari kepada murid-muridnya, sehingga berkembanglah pesantren ini sebagai lembaga pendidikan yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) hingga sekarang. Pesantren salafi ini memiliki keunikan yang sepertinya dipertahankan oleh kiainya sebagaimana ia pernah alami sewaktu ia mesantren dulu. Beberapa keunikan yang dapat diidentifikasi antara lain:
  1. Kobong yaitu tempat tinggal santri.
  2. Mesjid sebagai pusat ibadah dan belajar mengajar termasuk juga berfungsi sebagai tempat i`tikaf dan melakukan latihan-latihan, suluk dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi.
  3. Santri, yang terdiri dari santri muqim(mondok) dan santri kalong (tidak mondok).
  4. Kiai sebagai tokoh sentral dibidang ilmu agama, guru yang mengajarkan kitabkitab klasik atau kitab kuning dan sekaligus juga pemilik pesantren.
  5. Kitab-kitab klasik (kuno) yaitu kitab yang dikarang para ulama terdahulu.
  6. Metode pembelajaran tradisional yaitu pengajian sorogan dan bandungan (wetonan).

SOURCE :

M. Syadeli Hanafi, Budaya Pesantren Salafi "Studi KetahananPesantren Salafi Di Provinsi Banten",  


ALQALAM, Vol. 33, No. 1 (Januari - Juni 2016), Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten